Sabtu, 11 Juli 2015

RANGKUMAN BUKU PPKN - KEWARGANEGARAAN (Prof. Tan) BAB 1 - BAB 10

Bab 1
Pendahuluan

Seiring dengan berkembangnya gelombang demokrasi ketiga yaitu pasca jatuhnya masa pemerintahan Orde Baru, maka diperlukan pula pembaharuan konsep pendidikan kewarganegaraan yang sejatinya merupakan instrumen pencerdasan dan pembangun karakter bangsa, dan bukan lagi berorientasi untuk melayani penguasa. Sebab itulah dibutuhkan pemahaman baru mengenai konsep Pendidikan Kewarganegaraan agar tidak ada lagi sikap anti Pancasila yang disebabkan oleh kebijakan Negara dimasa lalu baik di Orde Lama atau Orde Baru dimana Pancasila menjadi ideologi negara namun praktik bernegara jauh dari haluan negara itu sendiri.
Konsep dasar Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah pendidikan dimana didalamnya terdapat unsur :
1.         Pendidikan Demokrasi (Democracy Education) yaitu; pendidikan yang secara substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi dalam pendidikan.
2.         Pendidikan HAM, sebagai aktifitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan penghormatan,perlindungan, dan penjaminan HAM sebagai suatu yang kodrati dimiliki setiap manusia.
3.         Kepemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam Masyarakat Madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, politik, administrasi publik dan sistem hukum, kewarganegaraan aktif, dsb
dengan mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional.
Pendidikan Kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter bangsa (character nation building) sangat relevan untuk dilaakukan saat ini dimana perilaku berdemokrasi di Indonesia masih disalahpahami sebatas kebebasan bertindak dan berekspresi tanpa menghiraukan hak-hak asasi orang lain. Menurut Azra, terdapat 2 alasan mengapa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan medesak bagi Bangsa Indonesia dalam membangun demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy (tidak melek politik, sistem demokrasi dan birokrasi). Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) Jika hal ini dibiarkan, demokrasi akan kehilangan nilai etisnya sebagai nilai yang harus dijaga bersama setiap warga negara. Tanpa adanya pemahaman yang baik tentang konsep kewarganegaraan, demokrasi tidak dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan demi tercapainya cita-cita bangsa yang tentu mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, makmur, dan berkembang. Untuk mencapai cita-cita tersebut, proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih rentan terhadap berbagai ancaaman budaya dan perilaku tidak demokratis warisan masa lalu seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang (money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik, dan penggunaan symbol-simbol primordial  (suku dan agama) dalam berpolitik yang jelas-jelas berlawanan dengan tatanan pancasila dan melahirkan ancaman terhadap sendi-sendi kesatuan bangsa dan eksistensi NKRI.
Pendidikan Kewarganegaraan(Civic Education) memiliki standar-standar kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajarannya yaitu mejadi warga negara yang cerdas dan berkeadaban (Intelligent and Civilized Citizens), yaitu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, memilih, dan mengembangkan lingkungannya.
Untuk dapat memenuhi standar kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan, perlu kita ketahui ruang lingkup pendidikan ini terlebih dahulu, diantaranya;
1.      Pemahaman mengenai apa yang dipelajari dan yang harus dicapai dalam Pendidikan Kewarganegaraan ini
2.      Pancasila dan keharusan aktualisasinya
3.      Identitas nasional dan globaisasi
4.      Demokrasi: teori dan praktik
5.      Konstitusi dan tata perundang-undangan Indonesia
6.      Negara: agama dan warga negara
7.      Hak asasi manusia
8.      Otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Repulik Indonesia
9.      Tata kelola  kepemerintahan yang bersih dan baik (Clear and Good Governance), dan
10.  Masyarakat madani (Civil Society)

Jika telah memahami standar kompetensi yang ditetatapkan dengan proses pembelajaran yang demokratis, maka diharapkan muncul paradigma baru mengenai Pendidikan Kewarganegaraan pada peserta didik, yaitu tidak lagi berpikir bahwa pendidikan ini sebagai alat rekayasa untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi, dan manipulasi atas demokrasi dan dasar negara pancasila, tetapi peserta didik mampu berpikir kritis,aktif, cerdas, solutif dan dan bertindak demokratis dengan kesadaran bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak wargab masyarakat dimana demokrasi tersebut adalah suatu learning process yang bergantung pada kemampuan peserta didik mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dengan merujuk pada nilai-nilai pancasila. Tujuan dari paradigma demokratis ini adalah sebagai upaya pembelajaran yang diarahkan tidak hanya untuk mengetahui sesuatu (learning to know), melainkan dapat belajar untuk menjadi(learning to be) manusia yang bertanggung jawab sebagai individu dan makhluk social  serta belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang dimiliki sehingga mahasiswa siap untuk hidup bersama dalam kemajemukan Indonesia dan dunia.

Bab 2
Pancasila dan Keharusan Reaktualisasi

Setelah orde baru berahir pada 1998, ideology negara Indonesia Pancasila seakan hilang bersamaan dengan tamatnya pemerintahan Presiden Soeharto. Sepanjang kekuasaan Orde Baru, peancasila hadir dalam setiap pidato kepala negara dan para pejabat. Hal ini lantaran pemerintah pusat menjadikan dasar negara sebagai rujukan dari orientasi pembangunan segala bidang. Hampir tiada hari tanpa pancasila.
Suasana tersebut berubah total setelah gerakan reformasi muncul dan mengakhiri kekuasaan panjang Orde Baru. Lahirnya era Reformasi seakan menyadarkan warga bangsa bahwa selama ini pemerintahan Orde Baru telah memanipulasi Pancasila. Banyak kalangan menilai Soeharto telah mengkhianati butir-butir Pancasila yang beliau rumuskan dan propagandakan. Ditengah semarak reformasi, Pancasila telah menjadi korban salah sasaran; pancasila diidentikkan dengan Pemerintahan Soeharto. Segala kebaikan dan nilai historis Pancasila tergerus oleh gerakan reformasi. Euphoria demokrasi telah mengubah secara signifikan Indonesia menjadi masyarakat yang terbuka dan kritis. Pada saat yang sama masyarakat seperti kehilangan arah dengan sistem demokrasi yang belum mereka alami pada masa sebelumnya yakni demokrasi tanpa predikat Pancasila yang dulu pernah disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru. Kegamangan masyarakat mengenai demokrasi tampak pada ekspresi kebebasan tanpa tanggungjab dan penghormatan hak asasi orang lain.
Reaktulisasi Pancasila
Para ahli berpendapat bahwa diperlukan penafsiran ulang Pancasila sebagai penawar bagi beragam persoalan kebangsaan yang dihadapi Indonesia di era Reformasi ini. Pancasila sebagai ideology terbuka seyogianya dibarengi dengan pengajaran Pendidikan Pancasila dengan pendekatan kritis (critical thinking) dan Pancasila harus terbuka sepanjang masa untuk ditafsirkan sepanjang situasi global yang terus berubah. Kartosuwiryo memunculkan gagasan dalam arti revolusi untuk menjadikan Pancasila tegas, efektif, dan menjadi petunjuk sebagaimana mestinya. Gagasan tersebut yaitu:
1.      Mengembalian Pancasila sebagai ideology negara
2.      Mengembangkan Pancasila sebagai ideology menjadi Pancasila sebagai ilmu
3.      Mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial
4.      Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertical (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal.
5.      Menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Sebagai sebuah sistem nilai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang digali dari kebudayaan dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus dijadikan sebagai cita-cita etis dan hukum serta sebagai etika berpolitik warga bangsa. Menjadikan Pancasila sebagai etika politik dalam tata kelola negara menurut budayawan Abdul Hadi M.W. adalah dengan menjalankan kekuasaan dengan: 1) asas legalitas /legitimasi hukum yang berlaku di NKRI berdasarkan Pancasila; 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis; 3) dilaksanakan berdasarkan  prinsip-prinsip moral.
Pancasila dalam pengertian Etimologis terdiri dari 2 kata, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar” yang bermakna “dasar yang memiliki 5 unsur”. Banyak ahli menyimpulkan bahwa Pancasila merupakan cerminan dari perjalanan dan karakter bangsa yang telah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Masuknya agama Hindu-Buddha membawa nilai-nilai tersebut  kedalam budaya setempat, terutama pada masa kekuasaan Majapahit. Pada era Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kata Pancasila yang berasal dari India sudah dijumpai dalam Kitab Negarakertagama.
Secara historis, munculnya Pancasila tidak lepas dari perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Keinginan untuk terlepas dari belenggu penjajahan dan ideology liberalism dan komunisme saat itu mendorong para tokoh bangsa diantaranya Soekarno untuk menggali nilai-nilai negerinya sendiri untuk dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka.
Secara terminologis, eksistensi Pancasila tidak terpisahkan dari situasi menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebagai konsekuaensi dari lahirnya Indonesia, dibutuhkan berbagai kelengkapan sebagai negara yang berdaulat. Pada fase ini keterkaitan Pancasila dan konstitusi UUD ’45 sangat erat. Sehari setelah  Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indononesia, sidang PPKI mengesahkan undang-undang dasar Indonesia yang disebut Undang Undang Dasar 45.
Berdasarkan pengesahan tersebut, susunan UUD ’45 terdiri dari 2 bagian yaitu; Pembukaan dan pasal-pasalnya yang tdd 37 pasal, 1 aturan peralihan yang tdd 4 pasal dan 1 aturan tambahan yang tdd 2 ayat. Pada bagian pembukaan konstitusi UUD ’45-lah kelima sila pada Pancasila tercantum.
Berdirinya NKRI secara teoritis ialah bangsa yang terbentuk atas dasar  kesatuan solidaritas, toleransi yang tinggi, satu jiwa  dan satu asas spiritual serta perasaan pengorbanan yang telah diperbuat pada masa lampau dimana kemudian mereka bersepakat untuk hidup bersama secara damai dimasa depan. Menjadikan Pancasila sebagai dasar NKRI adalah kesepakatan nasional yang harus dijaga sampai kapanpun oleh semua komponen bangsa.
Menjadi bangsa Indonesia tidak berarti meninggalkan kekhasan yang telah melekat pada bangsa Indonesia yaitu suku, budaya, bahasa, keyakinan, dsb, tetapi unsur-unsur ini hendaknya melebur dalam heterogenitas Indonesia. Kekhasan ini merupakan penyubur bagi Indonesia yang majemuk. Kemajemukan ini harus tetap berjalan ditengah-tengah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sebagaimana yang tersimbolakan dalam kata Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara burung garuda yang juga memuat simbol-simbol dari kelima sila dalam Pancasila.

Bab 3
Identitas Nasional dan Globalisasi

Identitas adalah ungkapan nilai-nilai pada suatu hal yang bersifat khas yang membedakannya dengan suatu hal yang lain. Kekhasan yang melekat pada suatu bangsa disebut “identitas nasional”. Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Identitas nasional akan terus berubah dan terbuka untuk diberi makna baru agar tetap sesuai dengan tuntutan zaman.
Menurut para ahli terdapat beberapa unsure yang menjadi komponen identitas nasional secara umum, diantaranya:
1.      Pola perilaku, yaitu gambaran pola sikap yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Lambang-lambang, yaitu sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi negara.
3.      Alat-alat kelengkapan, yaitu sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan berupa bangunan, peralatan, dan teknologi.
4.      Tujuan, yaitu target yang bersifat dinamis.
Ada pula unsur-unsur pembantuk identitas nasional Indonesia. Identitas tersebut sangat lekat dengan kemajemukan Indonesia yang tercermin dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Kemajemukan tersebut merupakan perpaduan dari unsur-unsur yang menjadi inti identitas, diantaranya:
1.      Sejarah. Semangat juang dan ketangguhan Indonesia dalam mengusir penjajah turun dari kerajaan-kerajaan Nusantara, Majapahit dan Sriwijaya misalnya terkenal dengan pengaruhnya yang kuat dalam menembus batas-batas teritorialnya.
2.      Kebudayaan. Aspek kebudayaan yang menjadi unsure pembentuk identitas nasional meliputi 4 unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan.
3.      Suku Bangsa
4.      Agama. Keragaman agama dan keyakinan di Indonesia dijamin oleh konstitusi negara.
5.      Bahasa. Meskipun Indonesia memiliki ribuan bahasa daerah, kedudukan bahasa Indonesia sebagai lingua franca memberikan identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah sebuah gambaran tentang semakin ketergantungan diantara sesama masyarakat dunia baik budaya maupun ekonomi. Berikut beberapa pengertian globalisasi:
1.      Globalisasi sebagai transformasi kondisi spasial-temporal kehidupan. Maksudnya, jika terjadi  perubahan dalam pengelolaan tata ruang-waktu maka terjadi pula transormasi pengorganisasian hidup.
2.      Globalisasi sebagai transforamsi lingkup cara pandang. Dengan kata lain, globalisasi menyangkut transormasi cara memandang, berpikir, merasa, dan mendekati persoalan.
3.      Globalisasi sebagai transformasi modus tindakan dan praktik. Maksudnya, globalisasi menunjuk pada proses kaitan yang mempererat segala aspek kehidupan pada skala mondial.
Terdapat banyak factor yang mendorang terjadinya globalisasi, antara lain; pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasidan informasi dan diciptakannya regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan.

Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan baik yang datang dari dalam atau luar negeri, yang langsung atau tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan, hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasional. Berikut komitmen dan kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan demi mewujudkan ketahanan nasional:
·         Bidang politik, yaitu dengan memberlakukan sistem demokrasi, politik luar negeri yang bebas aktif, dan menjalankan good governance.
·         Bidang ekonomi, yaitu dengan menjaga kestabilan ekonomi makro, menyediakan lembaga-lembaga ekonomi yang modern dan mengeksploitasi sumber daya alam secara proporsional.
·         Bidang social-budaya, yaitu dengan meningkatkan kompetensi dan komitmen sumber daya  manusia melalui demokratisasi pendidikan, penguasaan ilmu dan teknologi, dan menyusun kode etik profesi yan sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.

Multikulturalisme

Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multikulturalisme sangat menjunjung perbedayaan budaya bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang dinamis. Karakter masyarakat multicultural adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful coexistence (hidup berdampingan secara damai). Setiap entitas social dan budaya masih membawa jati dirinya, tidak melebur kemudian hilang, namun tidak memperlihatkan kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lain. Multikulturalisme pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, atau agama. Dengan demikian, konsep masyarakat multicultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi dan Masyarakat Madani di Indonesia.
Bab 4
Demokrasi: Teori dan Praktik

Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berupa bentukan dari 2 kata yaitu demos (rakyat) dan cratein/cratos (kekuasaan dan kedaulatan).
Dari beberapa pendapat ahli tentang demokrasi, dapat disimpulakan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan meliputi 3 hal mendasar, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Selain saluran demokrasi formal lewat DPR, dan partai politik, untuk mendapat masukan dan kritik dari warga negara dalam rangka terjadinya control terhadap jalannya pemerintah yang demokratis berkewajiban menyediakan dan menjaga saluran-saluran demokrasi nonformal berupa fasilitas-fasilitas umum atau ruang publik ( public sphere) sebagai sarana interaksi social, seperti stasiun radio dan televisi, dan dukungan pemerintah terhadapkebebasan pers yang bertanggung jawab.
Sekilas Sejarah Demokrasi
Konsep demokrasi lahir dari pemikiran Yunani tentang hubungan negara dan hukum, yang dipraktikkan dari abad ke-6 SM sampai ke-4 M. demokrasi yang dipraktikkan saat itu berbentuk demokrasi langsung. Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan dan berubah menjadi masyarakat feodal. Lalu demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir abad pertengahan ditandai oleh lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris, gerakan pencerahan  (renaissance) di Eropa yang merupakan buah dari kontak Eropa dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada di puncak kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Selain itu, gerakan reformasi yang merupakan gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke-16 juga memperkuat keeksisan sistem demokrasi. Gagasan-gagasan para filsuf selama masa gerakan reformasi tersebutlah yang melahirkan konsep konstitusi demokrasi barat yang berstandar trias politica (sistem pemisahan bentuk kekuasaan dalam negara menjadi legislative, eksekutif, dan yudikatif) yang selanjutnya berakibat pada munculnya konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang intinya merupakan suatu konsep pemerintahan yang memprioritaskan kinerjanya dan peningkatan kesejahteraan warga negara.
Demokrasi Indonesia
1.      Periode 19450-1959, dikenal dengan Demokrasi Parlementer. Sistem ini mulai berlaku sebulan  sesudah kemerdekaaan diproklamirkan. Namun model demokrasi parlementer dianggap kurang cocok untuk Indonesia karena telah member peluang besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social-politik.

2.      Periode 1959-1965, dikenal dengan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Demokrasi ini bercirikan dominannya politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan ABRI dalam panggung politik. Hal ini disebabkan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
3.      Periode 1965-1998, merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan sebutan Orde Baru yang merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, Orde Lama. Demokrasi terpimpin ala Presiden Soekarno diganti oleh elite Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila. Sayangnya, praktik kenegaraann dan pemerintahan penguasa orde Baru jauh dari prinsip demokrasi.
4.      Periode Pasca Orde Baru, disebut Era-Reformasi. Gerakan reformasi menuntut pelaksanaan demokrasi dan HAM yang konsekuen. Tuntutan ini ditandai dengan lengsernya Soeharto pada Mei 1998.
Unsur-unsur Tegaknya Demokrasi
1.      Negara Hukum (Rechtsstaat), bercirikan adanya perlindungan HAM, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM, pemerintahan perdasarkan peraturan, dan adanya peradilan administrasi.
2.      Masyarakat Madani (Civil Soecity), yang bercirikan terbuka, egaliter, dan bebas dari dominasi dan tekanan negara.
3.      Aliansi Kelompok Strategis, yang tdd partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok penekan kepentingan termasuk didalamnya kaum cendikiawan dan pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Pemilu Indonesia di Era  Reformasi
Pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme demokrasi untuk menentukan pergantian pemerintah dimana rakyar dapat terlibat dalam proses pemilihan wakil mereka di parlemen dan pemimpin nasional maupun daerah yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan aman. Prinsip-prinsip ini penting dalam prose pemilu sebagai indicator kualitas demokrasi.
Partai Politik
Sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kedudukan politik, partai politik adalah media penampung aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi  nilai-nilai demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk mengontrol penyelenggaraan negara melalui partai politik. Terdapat 3 sistem kepartaian di tiap negara: sistem satu partai, dwipartai, dan multi-partai.
Islam dan Demokrasi
Bagi kalangan elit Isla,, kesungguhan dan kesabaran dalam membangun demokrasi Indonesia tercermin dalam sokongan mereka untuk menyerukan nilai-nilai Islam , seperti amanah dan shiddiq (terpercaya).
Bab 5
Konstitusi dan Tata Perundang-undangan Indonesia

Konstitusi berarti, sekumpulan kaidah/prinsip yang menyangkut penjelasan tentang batasan kekuasaan kepada penguasa, pembagian tugas dan wewenang dari sistem politik yang diterapkan, dan deskripsi mengenai masalah HAM.
Fungsi dan tujuan Konstitusi adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat,dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Dijelaskan bahwa isi dalam paham konstitusi demokratis meliputi:
1.      Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
2.      Jaminan perlindungan HAM
3.      Peradilan yang bebas dan mandiri
4.      Pertanggungjawaban pada rakyat (akuntabilitas public) sebagai asa kedaulatan rakyat.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dirancang sejak 29 Mei-16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diketuai oleh Mr. Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam perjalanan sejarah, konstitusi kita telah melewati 4 fase berupa pergantian baik nama maupun substansi materi yang dikandung. Perjalanan sejarah konstitusi Indonesia antara lain:
1.      Undang-Undang Dasar 1945 - yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai 27 Desember 1949.
2.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) – 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3.      Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1959 – 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4.      Kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 – sejuak Dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga sekarang.
Dalam perubahan ke-4 UUD1945, diatur juga tentang perubahan undang-undang. Bersandar pada Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa:
1.      Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2.      Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3.      Sidang tersebut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4.      Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
Reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan sebagai hasil dari proses amandemen UUD 1945 dapat dilihat pada tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut yang dikelompokkan dalam kelembagaan legislative, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana yang dijelaskan berikut.
1.      Lembaga Legislatif
a.       MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), merupakan lembaga legislative model dua kamar (bicameral). Sebagaimana yang tertuang dalam sila ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan’, MPR merupakan cermin prinsip permusyawaratan.
b.      DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), merupakan lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang memegang kekuasaan berbentuk undang-undang. Fungsi DPR tdd; legislasi, anggaran, dan pengawasan.
c.       DPD (Dewan Perwakilan Daerah), lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang merupakan wakil-wakil terpilih untuk daerah provinsi. Fungsi DPD adalah; pengajuan usul, membahas dan mempertimbangkan yang terkait dengan bidang legislasi tertentu, serta pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.
2.      Lembaga Eksekutif. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, lembaga eksekutif meliputi presiden dan para menteri yang membantu dan dipimpin secara langsung oleh presiden. Kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai kekuasaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kemauan negara dan pelaksanaan UU yang mencakup beberapa bidang diantaranya; diplomatic, administrative, militer, yudikatif, dan legislative.
3.      Lembaga Yudikatif , yakni lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, yang berarti kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna kenegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Terdapat 3 komponen dalam lembaga yudikatif, yaitu: Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
4.      Badan pemeriksa Keuangan (BPK), merupakan lembaga yang bebas dan mandiri yang disebut juga mitra kerja erat DPR dalam menjalankan fungsi parlementer berupa pengawasan kinerja pemerintahan terkait soal keuangan dan kekayaan negara.
Berikut tata urutan perundang-undangan Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 7 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang  Dasar 1945
2.      Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3.      Peraturan pemerintah
4.      Peraturan presiden
5.      Peraturan daerah
Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya batal demi hukum dan tidak bisa dilaksanakan.

Bab 6
Negara, Agama, dan Warga Negara

Pengertian negara adalah bentuk organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat.
Tujuan  sebuah negara, antara lain; memperluas kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, dan mencapai kesejahteraan umum. Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945.
Terdapat beberapa unsur pokok dalam berdirinya suatu negara yaitu;
1.      Rakyat, adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan sama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
2.      Wilayah, adalah batas-batas teritorial yang harus dimiliki negara mencaku daratan, perairan, dan udara.
3.      Pemerintah, adalah kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negar untuk mencapai tujuan negara tersebut.
4.      Pengakuan negara lain, tdd:
a.       De facto, yaitu pengakuan pada suatu negara berdasarkan fakta pada unsur penting negara (rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat).
b.      De jure, yaitu pengakuan berdasarkan pertimbangan yuridis.
Teori Tentang Terbentuknya Negara
1.      Teori Kontrak Sosial (Social Contract), beranggapan bahwa negara dbentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat.
2.      Teori Ketuhanan (Teokrasi), beranggapan bahwa kekuasaan/memerintah pada suatu negara merupakan mandat dari Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan pula pada Tuhan.
3.      Teori Kekuatan, beranggapan suatu negara dibentuk oleh kaum yang memiliki dominasi paling kuat baik melalui penjajahan, penaklukan, atau pertarungan kekuatan.
Bentuk-Bentuk Negara
1.      Negara Kesatuan (Unitarianisme), adalah bentuk negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa. Negara kesatuan terbagi atas 2 sistem yaitu; sentral dan otonomi

2.      Negara Serikat (federasi), adalah bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian. Dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, negara serikat digolongkan atas 3 kelompok yaitu; monarki(dikepala raja/ratu), oligarki(dijalani oleh beberapa penguasa), dan demokrasi(bersandar pada kedaulatan rakyat).
Warga Negara Indonesia (WNI)
Menurut Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berikut UU yang menjelaskan hal-hal terkait kewarganegaraan Indonesia.
1.      UUKI 2006 Pasal 4 => tentang siapa yang dapat dinyatakan sebagai WNI.
2.      UUKI 2006 Pasal 5 => tentang Status Anak Warga Negara Indonesia.
3.      UUKI 2006 Pasal 6 => penjelasan tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada pasal sebelumnya (UUKI 2006 Pasal 5).
Hubungan antara Negara, Warga Negara, dan Agama
Warga negara dan negaranya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Sesuai konstitusi, Negara Indonesia berkewajiban menjamin dan melindungi seluruh warganya tanpa kecuali, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, penyediaan fasilitas umum yang layak, dsb. Namun kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak akan dapat berjalan lancar jika tanpa dukungan warga negara dalam bentuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Misalnya; membayar pajak.
Hubungan Islam dengan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan dalam 3 pandangan:
1.      Paradigma Integralistik, yaitu anggapan bahwa konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang menyatu (integrated) dan tidak terpisahkan sehingga menegaskan bahwa negara adalah lembaga politik sekaligus lembaga agama.
2.      Paradigma Simbiotik, yaitu anggapan bahwa hubungan negara dan agama bersifat timbal balik. Berarti agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama – sebaliknya negara juga membutuhkan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas agamanya.
3.      Paradigma Sekularistik, yaitu anggapan bahwa agama dan negara merupakan dua bentuk berbeda yang keberadaannya harus dipisahkan. Negara merupakan urusan publik dan agama merupakan wilayah pribadi setiap warga negara.
Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antar sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis maksudnya tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala perannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban terhadap agama (simbiotik-mutualita).

Bab 7
Hak Asasi Manusia (HAM)

HAM (Hak Asasi Manusia) menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perkembangan HAM di Indonesia
a.       Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi pergerakan nasional (misalnya Boedi Oetomo-1908) dimana munculnya organisasi-organisasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat jajahan. Perdebatan HAM oleh para tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, dkk berpuncak pada sidang BPUPKI yang berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang menjamin hak dan kewajiban negara dan warganya yang hendak diproklamirkan.
b.      Periode Setelah Kemerdekaan
·         Periode 1945-1950, menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik, serta hak kebebasan untuk berpendapat di parlemen.
·         Periode 1950-1959, merupakan masa gemilang prinsip demokrasi liberal sehingga memperkuat suasana kebebasan dalam kehidupan politik nasional. Masa ini tercatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi perkembangan HAM di Indonesia. Masa ini dikenal dengan ‘masa demokrasi parlemanter’. Menurut Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM pada masa ini tercermin pada 5 indikator HAM diantaranya: munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi; adanya kebebasan pers; pelaksanan pemilu yang aman, bebas, dan demokratis; kontrol parlemen atas eksekutif; dan pedebatan HAM secara bebas dan demokratis. Pada masa ini, Indonesia turut pula meratifikasi 2 konvensi internasional HAM yaitu Konvensi Genewa (1949) dan Konvensi tentang Hak Politik Perempuan.
c.       Periode 1959-1966
Masa Demokrasi Liberal diganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Presiden tidak dapat dikontrol parlemen bahkan sebaliknya. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut dan seumur hidup. Akibatnya, hak-hak asasi warga negara dipasung dengan berbagai kebijakan pemerintah yang otoriter.
Namun menurut Soekarno, demokrasi parlementer merupakan produk Barat yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisi sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
d.      Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia atas pemerintahan masa Soekarno sebelumnya. Namun pada kenyataannya, setelah mendapat mandat dari MPRS, Orde Baru malah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Pelanggaran HAM Orde Baru terlihat dari kebijakan politik yang bersifat sentralis dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah. Melalui pendekatan keamanan (security approach), pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan dengan berbagai tindakan kekerasan dan pembantaian oleh aparat negara, yang tercatat sebagai kasus pelanggaran HAM.
Ditengah kuatnya peran negara, muncul pula berbagai organisasi dan LSM yang berupaya menegakkan HAM. Kuatnya tuntutan kelompok-kelompok tersebut mengubah sikap pemerintah Orde Baru menjadi lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM, tampak dari terbentuknya Komnas HAM dan diratifikasikanya 3 konvensi HAM. Sikap akomodatif pemerintah tidak lantas serasi dengan pelaksanaan HAM oleh negara.
Akumulasi pelanggaran HAM negara pada periode ini tecermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.
e.       Periode Pasca-Orde Baru
Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru tahun 1998, menandai berakhirnya rezim militer dan otoriter yang telah berlangsung selama 30 tahun di Indonesia, berganti dengan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu sebagai wakil presiden RI. Seiring dengan berakhirnya masa Orde Baru, kaum reformis turut mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan HAM dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan, serta melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia.
Adapun undang-undang yang mengatur mengenai Pelanggaran dan Peradilan HAM adalah; UU No.26 Tahun 2000, mendefinisikan hal  Pelanggaran HAM  yaitu perbuatan seseorang/ kelompok termasuk aparat negara baik sengaja atau tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang/ kelompok yang dijamin UU yang dikhawatirkan tidak mendapat penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM dikelompokkan atas 2 bentuk yaitu; pelanggaran HAM berat, dan pelanggaran HAM ringan.
Bab 8
Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sebagaimana yang didefenisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), istilah otonomi daerah atau desentralisasi, adalah segala yang berkaitan dengan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibukota negara baik melalui cara dekonsentrasi, seperti pendelegasian, kepada pejabat dibawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.
Desentralisasi otonomi daerah dapat berjalan jika didasari oleh serangkaian argumen yang kuat secara teoritis maupun empiris yang diajukan oleh teoritisi pemerintahan dan politik. Berikut argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi daerah.
1.      Untuk terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
2.      Sebagai sarana pendidikan politik.
3.      Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
4.      Stabilitas politik.
5.      Kesetaraan politik
6.      Akuntabilitas publik
Visi otonomi daerah dirumuskan dalam 3 ruang lingkup utama yaitu;
1.      Politik. Otonomi daerah  sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemerintah daerah yang terpilih secara demokratis, pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyat, dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.
2.      Ekonomi. Otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah , dan mendorong keterbukaan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan lokal guna mengoptimalkan potensi ekonomi daerahnya.
3.      Sosial dan budaya. Otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial -  serta pemeliharaan dan pengembangan nilai, tradisi, karya seni, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif  dalam mendorong masyarakatnya untuk merespons positif dinamika kehidupan global.
Adapun misi/tujuan otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang kian membaik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar-daerah.
Di Indonesia, otonomi daerah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Pemerintah Daerah.
Diperlukan prinsip-prinsip yang harus ditaati pemerintah daerah otonom sebagai pedoman dalam penyelenggaraan otonominya yaitu dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi keberagaman daerah; didasari otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab; pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diberikan pada kabupaten/kota sedangkan otonomi terbatas pada provinsi; pelaksanaan harus sesuai konstitusi negara; meningkatkan kemandirian daerah otonom; harus meningkatkan peranan dan fungsi legislatif daerah; pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada provinsi; serta pelaksanaan asas tugas pembantuan yang diperbolehkan.
Otonomi daerah yang diterapkan di indonesia bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat; disebut nyata karena kewenangan menyangkut yang diperlukan, tumbuh, hidup, dan berkembang didaerah tsb; dan disebut bertanggung jawab kerenakewenangan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah. Pembagian kekuasaan dalam kerangka otonomi daerah  berdasarkan prinsip negara kesatuan sehingga pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan pengawasan terhadap daerah otonom. Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif dimana kewenangan mencakup soal desentralisasi dan dekonsentrasi, yaitu:
a.       Kewenangan lintas kabupaten (bidang PU, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan)
b.      Kewenangan pemerintahan lainnya (seperti perencanaan dan pengembangan pembangunan regional makro, pengelolaan sarana/prasarana regional, dsb)
c.       Kewenangan kelautan (eksplorasi, konservasi, dsb)
d.      Kewenangan yang belum/tidak dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota
Terkait dengan pembagian kewenangan anatara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terdapat 11 jenis kewenangan yang harus diseahkan pada daerah otonom kabupaten/kota yaitu; pertanahan, pertanian, pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, dan koperasi. 
Menurut UU No.22 Tahun 1999, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan beranggung jawab kepada DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan/pemberhentian kepala daerah secara administratif masih diberikan kepada presiden. Setiap peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD pada kepala daerah dapat pula langsung berlaku tanpa persetujuan dari pemerintah pusat meski pemerintah pusat dapat menghentikan/menundanya jika tidak sesuai dengan konstitusi, UU, dan kepentingan umum.
Otonomi daerah dipandang sebagai langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar-daerah di Indonesia. Namun pembangunan daerah akan berjalan jika sejumlah prasyarat dapat dipenuhi antara lain; fasilitasi, pemerintah daerah harus kreatif, politik lokal yang stabil, pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha, dan pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
Bab 9
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih
(Good and Clean Governance)
Good governance berarti pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa yang dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta transparan.
Suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika semua unsur dalam pemerintahan bergerak sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan rakyat; pembangunan dilakukan dengan biaya minimal namun hasilnya maksimal; produktifitas bersinergi dengan peningkatan indikator tingkat ekonomi rakyat dalam aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya. Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan 9 asas/prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu; 
1.      Partisipasi, merupakan bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan baik langsung atau melalui lembaga perwakilan yang sah.
2.      Penegakan hukum, yang berarti pemerintahan profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa yang dapat direalisasikan (oleh pemerintah) dengan berkomitmen untuk meletakkan unsur-unsur berupa supremasi hukum, kepastian hukum, hukum yang responsif, penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, serta independensi peradilan, dalam praktek bernegara.
3.      Transparansi, sifat keterbukaan yang memjauhkan dari praktek kecurangan dalam bernegara.
4.      Responsif, yang berarti keharusan pemerintah untuk tanggap terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat tanpa harus menunggu masyarakat untuk menyampaikannya.
5.      Orientasi kesepakatan (konsensus), apapun harus dilakukan dengan proses musyawarah terlebih dahulu.
6.      Kesetaraan, kesamaan perlakuan dan pelayanan publik.
7.      Efektifitas dan efisiensi, yakni berdayaguna dan berhasilguna.
8.      Akuntabilitas, yakni pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9.      Visi strategis, merupakan pandangan-pandangan strategis dalam mengambil keputusan sekarang yang sudah diperhitungkan untuk menghadapi masa yang akan datang.
Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan dari implementasi good and clear governance. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintahan akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerntahan yang berdampak pada tata pemerintahan yang baik, efektif, dan bebas KKN. Program yang dapat dijadikan prioritas dalam mewujudkan prinsip good an clear governance diantaranya:
1.      Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
2.      Kemandirian lembaga peradilan
3.      Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah
4.      Penguatan partisipasi Masyarakat Madani, dan
5.      Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.
Korupsi sebagai Penghambat Good and Clean Governance
Korupsi merupakan tindakan curang terhadap materil yang merugikan kepentingan umum/masyarakat demi keuntungan pribadi/kelompok tertentu. Korupsi yang dilakukan oleh politisi secara kolektif dalam pelaksanaan proyek pembangunan misalnya, berakibat pada buruknya fasilitas umum seperti jembatan, sekolah, dsb yang kurang layak/tidak sesuai dengan biaya yang sudah dikeluarkan/rusak sebelum waktunya yang tentu saja merugikan negara dan masyarakat. Kejadian ini erat kaitannya dengan praktik money politics dalam pemilihan kepala daerah dan pimpinan parpol maupun suap-menyuap yag dilakukan oleh masyarakat terhadap aparat hukum dan pemerintahan dalam hal pelayanan publik
Menurut Jeremy Popy, korupsi terjadi jika ada peluang dan keingainan dalam waktu yang bersamaan. Sehingga untuk memberantasnya, dibutuhkan strategi dengan melakukan perubahan secara sistematis - untuk meminimalisir peluang, dan memberlakukan siasat ‘laba rendah, resiko tinggi’ dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntibilitas - untuk meminimalisir keinginan.
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good and clean governance di Indonesia, yaitu;
1.      Keberhasilan dalam pelayanan publik yang didominasi pemerintah akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi
2.      Pelayanan publik adalah wilayah dimana good and clean governance dapat diartikulasikan dengan mudah
3.      Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance (pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar).
Sehingga dengan demikian, pelayanan publik menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain; manajemen organisasi, kualitas sumber daya manusianya, dan kepemimpinan birokrasi yang efektif dan koordinasi kerja pada birokrasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi di masa depan antara lain; struktur birokrasi sebagai hubungan internal (penjalan aktivitas birokrasi), kebijakan pengelolaan (visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi), sumber daya manusia (kualitas kerja dan kapasitas diri pekerja), sistem informasi manajemen (pengelolaan database), dan sarana dan prasarana yang dimiliki (penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi).
Bab 10
Masyarakat Madani

Masyarakat madani (Civil Soecity) adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat berupa pemikiran, seni, dan pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan UU. Ciri-ciri masyarakat madani adalah; kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai. Sehingga Anwar menyimpulkan watak masyarakat madani yang dimaksud sebagai guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaannya yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan demokrasi.
Karakteristik Civil Soecity
Dibutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Unsur pokok tersebut yaitu:
1.      Wilayah publik yang bebas (free public sphere), yaitu ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat/ pandangan sosial-politik warga masyarakat tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil soecity.
2.      Demokrasi, yaitu tatanan sosial-politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara – merupakan prasyarat mutlak bagi keberadaan genuine civil soecity.
3.      Toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
4.      Kemajemukan (pluralisme), merupakan sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam dan disertai sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan.
5.      Keadilan sosial, adalh keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan, berupa ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan.
Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya membangun Masyarakat Madani di Indonesia, yaitu dengan:
1.      Pandangan integrasi sosial dan politik, yaitu pandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.      Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi.
3.      Paradigma membangun Masyarakat Madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi.
Bersandar pada 3 paradigma di atas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut. Sebaliknya, untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan strategi dan paradigma yang setidaknya dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan demokrasi dimasa transisi sekarang, yakni:
1.      Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok Masyarakat Madani yang mandiri secara politik dan ekonomi.
2.      Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3.      Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan politik) bagi warga negara secara keseluruhan.
Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani
Iwan Garsono mendefenisikan gerakan sosial sebgai aksi organisasi/kelompok masyarakat sipil dalam mendukung/menentang perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian 3 ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (corporation/market), dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada di ranah negara dan gerakan ekonomi di ranah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yg melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu. Sementara itu, gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. Selain itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Habermas yang melihat gerakan sosial merupakan resistensi progresif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi. Jadi, salah satu gerakan yang membedakan ketiga gerakan tersebut ialah aktornya, yakni parpol di ranah politik, lobbyist dan perusahaan di ranah ekonomi (pasar), dan organisasi masyarakat sipil atau kelompok sosial di ranah masyarakat sipil.
Organisasi Non-Pemerintah dalam Ranah Masyarakat

Organisasi non-pemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Government Organization) mendefenisikan organisasi nonpemerintah sebagai organisasi/kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-government) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit), tidak untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota (self-serving) tetapi untuk melayani kepentingan masyarakat yg membutuhkannya. Sosok organisasi non pemerintah dalam pengertian ril sebagai gerakan terorganisasi dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang berbadan hukum perkumpulan atau perhimpunan atau yayasan, ada juga yg tidak berbadan hukum. Bahkan ada yg bersifat sementara seperti “forum”, ”koalisi”, ”aliansi”, ”konsorsium”, ”asosiasi”, ”jaringan”, ”solidaritas”, dsb.