Bab
1
Pendahuluan
Seiring dengan
berkembangnya gelombang demokrasi ketiga yaitu pasca jatuhnya masa pemerintahan
Orde Baru, maka diperlukan pula pembaharuan konsep pendidikan kewarganegaraan
yang sejatinya merupakan instrumen pencerdasan dan pembangun karakter bangsa,
dan bukan lagi berorientasi untuk melayani penguasa. Sebab itulah dibutuhkan
pemahaman baru mengenai konsep Pendidikan Kewarganegaraan agar tidak ada lagi
sikap anti Pancasila yang disebabkan oleh kebijakan Negara dimasa lalu baik di
Orde Lama atau Orde Baru dimana Pancasila menjadi ideologi negara namun praktik
bernegara jauh dari haluan negara itu sendiri.
Konsep dasar
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
adalah pendidikan dimana didalamnya terdapat unsur :
1.
Pendidikan Demokrasi (Democracy Education) yaitu; pendidikan
yang secara substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi
konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi dalam pendidikan.
2.
Pendidikan HAM,
sebagai aktifitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan
penghormatan,perlindungan, dan penjaminan HAM sebagai suatu yang kodrati
dimiliki setiap manusia.
3.
Kepemerintahan,
konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi,
rule of law, hak dan kewajiban negara, proses demokrasi, partisipasi aktif
dan keterlibatan warga negara dalam Masyarakat Madani, pengetahuan tentang
lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, politik,
administrasi publik dan sistem hukum, kewarganegaraan aktif, dsb
dengan mempelajari orientasi, sikap,
dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political participation serta kemampuan
mengambil keputusan politik secara rasional.
Pendidikan
Kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter bangsa (character nation building) sangat
relevan untuk dilaakukan saat ini dimana perilaku berdemokrasi di Indonesia
masih disalahpahami sebatas kebebasan bertindak dan berekspresi tanpa
menghiraukan hak-hak asasi orang lain. Menurut Azra, terdapat 2 alasan mengapa
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan medesak bagi Bangsa Indonesia
dalam membangun demokrasinya. Pertama,
meningkatnya gejala dan kecenderungan political
illiteracy (tidak melek politik, sistem demokrasi dan birokrasi). Kedua, meningkatnya
political apathism (apatisme politik)
Jika hal ini dibiarkan, demokrasi akan kehilangan nilai etisnya sebagai nilai
yang harus dijaga bersama setiap warga negara. Tanpa adanya pemahaman yang baik
tentang konsep kewarganegaraan, demokrasi tidak dapat berjalan lancar sesuai
yang diharapkan demi tercapainya cita-cita bangsa yang tentu mendambakan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, makmur, dan berkembang.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan
budaya demokrasi yang genuine. Tanpa
dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih rentan terhadap
berbagai ancaaman budaya dan perilaku tidak demokratis warisan masa lalu
seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang (money politics), pengerahan massa untuk
tujuan politik, dan penggunaan symbol-simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik yang
jelas-jelas berlawanan dengan tatanan pancasila dan melahirkan ancaman terhadap
sendi-sendi kesatuan bangsa dan eksistensi NKRI.
Pendidikan
Kewarganegaraan(Civic Education)
memiliki standar-standar kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajarannya
yaitu mejadi warga negara yang cerdas dan berkeadaban (Intelligent and Civilized Citizens), yaitu kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan diri, memilih, dan mengembangkan lingkungannya.
Untuk dapat memenuhi standar kompetensi
Pendidikan Kewarganegaraan, perlu kita ketahui ruang lingkup pendidikan ini
terlebih dahulu, diantaranya;
1. Pemahaman
mengenai apa yang dipelajari dan yang harus dicapai dalam Pendidikan
Kewarganegaraan ini
2. Pancasila
dan keharusan aktualisasinya
3. Identitas
nasional dan globaisasi
4. Demokrasi:
teori dan praktik
5. Konstitusi
dan tata perundang-undangan Indonesia
6. Negara:
agama dan warga negara
7. Hak
asasi manusia
8. Otonomi
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Repulik Indonesia
9. Tata
kelola kepemerintahan yang bersih dan
baik (Clear and Good Governance), dan
10. Masyarakat
madani (Civil Society)
Jika telah memahami standar kompetensi
yang ditetatapkan dengan proses pembelajaran yang demokratis, maka diharapkan
muncul paradigma baru mengenai Pendidikan Kewarganegaraan pada peserta didik,
yaitu tidak lagi berpikir bahwa pendidikan ini sebagai alat rekayasa untuk
melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi, dan manipulasi atas
demokrasi dan dasar negara pancasila, tetapi peserta didik mampu berpikir
kritis,aktif, cerdas, solutif dan dan bertindak demokratis dengan kesadaran
bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin
hak-hak wargab masyarakat dimana demokrasi tersebut adalah suatu learning process yang bergantung pada
kemampuan peserta didik mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dengan merujuk
pada nilai-nilai pancasila. Tujuan dari paradigma demokratis ini adalah sebagai
upaya pembelajaran yang diarahkan tidak hanya untuk mengetahui sesuatu (learning to know), melainkan dapat
belajar untuk menjadi(learning to be)
manusia yang bertanggung jawab sebagai individu dan makhluk social serta belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh
pengetahuan yang dimiliki sehingga mahasiswa siap untuk hidup bersama dalam kemajemukan
Indonesia dan dunia.
Bab
2
Pancasila
dan Keharusan Reaktualisasi
Setelah orde
baru berahir pada 1998, ideology negara Indonesia Pancasila seakan hilang
bersamaan dengan tamatnya pemerintahan Presiden Soeharto. Sepanjang kekuasaan
Orde Baru, peancasila hadir dalam setiap pidato kepala negara dan para pejabat.
Hal ini lantaran pemerintah pusat menjadikan dasar negara sebagai rujukan dari
orientasi pembangunan segala bidang. Hampir tiada hari tanpa pancasila.
Suasana
tersebut berubah total setelah gerakan reformasi muncul dan mengakhiri
kekuasaan panjang Orde Baru. Lahirnya era Reformasi seakan menyadarkan warga
bangsa bahwa selama ini pemerintahan Orde Baru telah memanipulasi Pancasila.
Banyak kalangan menilai Soeharto telah mengkhianati butir-butir Pancasila yang
beliau rumuskan dan propagandakan. Ditengah semarak reformasi, Pancasila telah
menjadi korban salah sasaran; pancasila diidentikkan dengan Pemerintahan
Soeharto. Segala kebaikan dan nilai historis Pancasila tergerus oleh gerakan
reformasi. Euphoria demokrasi telah mengubah secara signifikan Indonesia
menjadi masyarakat yang terbuka dan kritis. Pada saat yang sama masyarakat
seperti kehilangan arah dengan sistem demokrasi yang belum mereka alami pada
masa sebelumnya yakni demokrasi tanpa predikat Pancasila yang dulu pernah
disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru. Kegamangan masyarakat mengenai
demokrasi tampak pada ekspresi kebebasan tanpa tanggungjab dan penghormatan hak
asasi orang lain.
Reaktulisasi Pancasila
Para ahli
berpendapat bahwa diperlukan penafsiran ulang Pancasila sebagai penawar bagi
beragam persoalan kebangsaan yang dihadapi Indonesia di era Reformasi ini.
Pancasila sebagai ideology terbuka seyogianya dibarengi dengan pengajaran
Pendidikan Pancasila dengan pendekatan kritis (critical thinking) dan Pancasila harus terbuka sepanjang masa untuk
ditafsirkan sepanjang situasi global yang terus berubah. Kartosuwiryo
memunculkan gagasan dalam arti revolusi untuk menjadikan Pancasila tegas,
efektif, dan menjadi petunjuk sebagaimana mestinya. Gagasan tersebut yaitu:
1. Mengembalian
Pancasila sebagai ideology negara
2. Mengembangkan
Pancasila sebagai ideology menjadi Pancasila sebagai ilmu
3. Mengusahakan
Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk perundangan, koherensi antar
sila, dan korespondensi dengan realitas sosial
4. Pancasila
yang semula hanya melayani kepentingan vertical (negara) menjadi Pancasila yang
melayani kepentingan horizontal.
5. Menjadikan
Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Sebagai sebuah
sistem nilai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang digali dari
kebudayaan dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus dijadikan sebagai
cita-cita etis dan hukum serta sebagai etika berpolitik warga bangsa.
Menjadikan Pancasila sebagai etika politik dalam tata kelola negara menurut
budayawan Abdul Hadi M.W. adalah dengan menjalankan kekuasaan dengan: 1) asas
legalitas /legitimasi hukum yang berlaku di NKRI berdasarkan Pancasila; 2)
disahkan dan dijalankan secara demokratis; 3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral.
Pancasila dalam
pengertian Etimologis terdiri dari 2 kata, panca
artinya “lima” dan sila artinya
“dasar” yang bermakna “dasar yang
memiliki 5 unsur”. Banyak ahli menyimpulkan bahwa Pancasila merupakan
cerminan dari perjalanan dan karakter bangsa yang telah berlangsung sejak
berabad-abad lalu. Masuknya agama Hindu-Buddha membawa nilai-nilai
tersebut kedalam budaya setempat,
terutama pada masa kekuasaan Majapahit. Pada era Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajah Mada, kata Pancasila yang berasal dari India sudah dijumpai dalam Kitab Negarakertagama.
Secara
historis, munculnya Pancasila tidak lepas dari perjuangan bangsa Indonesia
menuju kemerdekaan. Keinginan untuk terlepas dari belenggu penjajahan dan
ideology liberalism dan komunisme saat itu mendorong para tokoh bangsa
diantaranya Soekarno untuk menggali nilai-nilai negerinya sendiri untuk
dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka.
Secara
terminologis, eksistensi Pancasila tidak terpisahkan dari situasi menjelang
lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebagai konsekuaensi
dari lahirnya Indonesia, dibutuhkan berbagai kelengkapan sebagai negara yang
berdaulat. Pada fase ini keterkaitan Pancasila dan konstitusi UUD ’45 sangat
erat. Sehari setelah Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indononesia, sidang PPKI mengesahkan undang-undang
dasar Indonesia yang disebut Undang Undang Dasar 45.
Berdasarkan
pengesahan tersebut, susunan UUD ’45 terdiri dari 2 bagian yaitu; Pembukaan dan
pasal-pasalnya yang tdd 37 pasal, 1 aturan peralihan yang tdd 4 pasal dan 1
aturan tambahan yang tdd 2 ayat. Pada bagian pembukaan konstitusi UUD ’45-lah
kelima sila pada Pancasila tercantum.
Berdirinya NKRI
secara teoritis ialah bangsa yang terbentuk atas dasar kesatuan solidaritas, toleransi yang tinggi,
satu jiwa dan satu asas spiritual serta
perasaan pengorbanan yang telah diperbuat pada masa lampau dimana kemudian
mereka bersepakat untuk hidup bersama secara damai dimasa depan. Menjadikan
Pancasila sebagai dasar NKRI adalah kesepakatan nasional yang harus dijaga
sampai kapanpun oleh semua komponen bangsa.
Menjadi bangsa
Indonesia tidak berarti meninggalkan kekhasan yang telah melekat pada bangsa
Indonesia yaitu suku, budaya, bahasa, keyakinan, dsb, tetapi unsur-unsur ini
hendaknya melebur dalam heterogenitas Indonesia. Kekhasan ini merupakan
penyubur bagi Indonesia yang majemuk. Kemajemukan ini harus tetap berjalan
ditengah-tengah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
sebagaimana yang tersimbolakan dalam kata Bhinneka
Tunggal Ika pada lambang negara burung garuda yang juga memuat
simbol-simbol dari kelima sila dalam Pancasila.
Bab 3
Identitas Nasional dan Globalisasi
Identitas
adalah ungkapan nilai-nilai pada suatu hal yang bersifat khas yang
membedakannya dengan suatu hal yang lain. Kekhasan yang melekat pada suatu
bangsa disebut “identitas nasional”. Identitas nasional pada hakikatnya
merupakan manifestasi budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek-aspek
kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Identitas nasional akan terus
berubah dan terbuka untuk diberi makna baru agar tetap sesuai dengan tuntutan
zaman.
Menurut
para ahli terdapat beberapa unsure yang menjadi komponen identitas nasional
secara umum, diantaranya:
1.
Pola
perilaku, yaitu gambaran pola sikap yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Lambang-lambang,
yaitu sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi negara.
3.
Alat-alat
kelengkapan, yaitu sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang
digunakan untuk mencapai tujuan berupa bangunan, peralatan, dan teknologi.
4.
Tujuan,
yaitu target yang bersifat dinamis.
Ada
pula unsur-unsur pembantuk identitas nasional Indonesia. Identitas tersebut
sangat lekat dengan kemajemukan Indonesia yang tercermin dalam ungkapan Bhinneka
Tunggal Ika. Kemajemukan tersebut merupakan perpaduan dari unsur-unsur yang
menjadi inti identitas, diantaranya:
1.
Sejarah.
Semangat juang dan ketangguhan Indonesia dalam mengusir penjajah turun dari
kerajaan-kerajaan Nusantara, Majapahit dan Sriwijaya misalnya terkenal dengan
pengaruhnya yang kuat dalam menembus batas-batas teritorialnya.
2.
Kebudayaan.
Aspek kebudayaan yang menjadi unsure pembentuk identitas nasional meliputi 4
unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan.
3. Suku Bangsa
4. Agama. Keragaman agama dan keyakinan di
Indonesia dijamin oleh konstitusi negara.
5. Bahasa. Meskipun Indonesia memiliki
ribuan bahasa daerah, kedudukan bahasa Indonesia sebagai lingua franca memberikan identitas tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan Indonesia.
Globalisasi
Secara
umum globalisasi adalah sebuah gambaran tentang semakin ketergantungan diantara
sesama masyarakat dunia baik budaya maupun ekonomi. Berikut beberapa pengertian
globalisasi:
1.
Globalisasi
sebagai transformasi kondisi spasial-temporal kehidupan. Maksudnya, jika
terjadi perubahan dalam pengelolaan tata
ruang-waktu maka terjadi pula transormasi pengorganisasian hidup.
2.
Globalisasi
sebagai transforamsi lingkup cara pandang. Dengan kata lain, globalisasi
menyangkut transormasi cara memandang, berpikir, merasa, dan mendekati
persoalan.
3.
Globalisasi
sebagai transformasi modus tindakan dan praktik. Maksudnya, globalisasi
menunjuk pada proses kaitan yang mempererat segala aspek kehidupan pada skala
mondial.
Terdapat
banyak factor yang mendorang terjadinya globalisasi, antara lain; pertumbuhan
kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasidan informasi dan
diciptakannya regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan.
Ketahanan
Nasional
Ketahanan
nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan
ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan
baik yang datang dari dalam atau luar negeri, yang langsung atau tidak langsung
membahayakan integritas, identitas, kelangsungan, hidup bangsa dan negara serta
perjuangan mengejar tujuan nasional. Berikut komitmen dan kebijakan pemerintah
yang dapat dilakukan demi mewujudkan ketahanan nasional:
·
Bidang
politik, yaitu dengan memberlakukan sistem demokrasi, politik luar negeri yang
bebas aktif, dan menjalankan good governance.
·
Bidang
ekonomi, yaitu dengan menjaga kestabilan ekonomi makro, menyediakan
lembaga-lembaga ekonomi yang modern dan mengeksploitasi sumber daya alam secara
proporsional.
·
Bidang
social-budaya, yaitu dengan meningkatkan kompetensi dan komitmen sumber
daya manusia melalui demokratisasi
pendidikan, penguasaan ilmu dan teknologi, dan menyusun kode etik profesi yan
sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.
Multikulturalisme
Berbeda dengan
konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multikulturalisme sangat
menjunjung perbedayaan budaya bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang
dinamis. Karakter masyarakat multicultural adalah toleran. Mereka hidup dalam
semangat peaceful coexistence (hidup berdampingan secara damai). Setiap entitas
social dan budaya masih membawa jati dirinya, tidak melebur kemudian hilang,
namun tidak memperlihatkan kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas
lain. Multikulturalisme pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain
sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa,
atau agama. Dengan demikian, konsep masyarakat multicultural dapat menjadi
wadah pengembangan demokrasi dan Masyarakat Madani di Indonesia.
Bab
4
Demokrasi:
Teori dan Praktik
Secara
etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berupa bentukan dari
2 kata yaitu demos (rakyat) dan cratein/cratos (kekuasaan dan kedaulatan).
Dari
beberapa pendapat ahli tentang demokrasi, dapat disimpulakan bahwa hakikat
demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat
sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan meliputi
3 hal mendasar, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Selain
saluran demokrasi formal lewat DPR, dan partai politik, untuk mendapat masukan
dan kritik dari warga negara dalam rangka terjadinya control terhadap jalannya
pemerintah yang demokratis berkewajiban menyediakan dan menjaga saluran-saluran
demokrasi nonformal berupa fasilitas-fasilitas umum atau ruang publik ( public
sphere) sebagai sarana interaksi social, seperti stasiun radio dan televisi,
dan dukungan pemerintah terhadapkebebasan pers yang bertanggung jawab.
Sekilas Sejarah Demokrasi
Konsep
demokrasi lahir dari pemikiran Yunani tentang hubungan negara dan hukum, yang
dipraktikkan dari abad ke-6 SM sampai ke-4 M. demokrasi yang dipraktikkan saat
itu berbentuk demokrasi langsung. Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad
pertengahan dan berubah menjadi masyarakat feodal. Lalu demokrasi tumbuh
kembali di Eropa menjelang akhir abad pertengahan ditandai oleh lahirnya Magna
Charta (Piagam Besar) di Inggris, gerakan pencerahan (renaissance) di Eropa yang merupakan buah
dari kontak Eropa dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada di puncak
kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Selain itu, gerakan reformasi yang
merupakan gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke-16 juga memperkuat
keeksisan sistem demokrasi. Gagasan-gagasan para filsuf selama masa gerakan
reformasi tersebutlah yang melahirkan konsep konstitusi demokrasi barat yang
berstandar trias politica (sistem pemisahan bentuk kekuasaan dalam negara
menjadi legislative, eksekutif, dan yudikatif) yang selanjutnya berakibat pada
munculnya konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang intinya merupakan
suatu konsep pemerintahan yang memprioritaskan kinerjanya dan peningkatan
kesejahteraan warga negara.
Demokrasi Indonesia
1.
Periode
19450-1959, dikenal dengan Demokrasi Parlementer. Sistem ini mulai berlaku
sebulan sesudah kemerdekaaan
diproklamirkan. Namun model demokrasi parlementer dianggap kurang cocok untuk
Indonesia karena telah member peluang besar kepada partai-partai politik untuk
mendominasi kehidupan social-politik.
2.
Periode
1959-1965, dikenal dengan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Demokrasi ini
bercirikan dominannya politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan
peranan ABRI dalam panggung politik. Hal ini disebabkan lahirnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
3.
Periode
1965-1998, merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan sebutan Orde
Baru yang merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, Orde Lama. Demokrasi
terpimpin ala Presiden Soekarno diganti oleh elite Orde Baru dengan Demokrasi
Pancasila. Sayangnya, praktik kenegaraann dan pemerintahan penguasa orde Baru
jauh dari prinsip demokrasi.
4.
Periode
Pasca Orde Baru, disebut Era-Reformasi. Gerakan reformasi menuntut pelaksanaan
demokrasi dan HAM yang konsekuen. Tuntutan ini ditandai dengan lengsernya
Soeharto pada Mei 1998.
Unsur-unsur Tegaknya Demokrasi
1.
Negara
Hukum (Rechtsstaat), bercirikan adanya perlindungan HAM, adanya pemisahan dan
pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM, pemerintahan perdasarkan peraturan, dan
adanya peradilan administrasi.
2.
Masyarakat
Madani (Civil Soecity), yang bercirikan terbuka, egaliter, dan bebas dari
dominasi dan tekanan negara.
3.
Aliansi
Kelompok Strategis, yang tdd partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok
penekan kepentingan termasuk didalamnya kaum cendikiawan dan pers yang bebas
dan bertanggungjawab.
Pemilu Indonesia di Era
Reformasi
Pemilihan
umum (pemilu) merupakan mekanisme demokrasi untuk menentukan pergantian
pemerintah dimana rakyar dapat terlibat dalam proses pemilihan wakil mereka di
parlemen dan pemimpin nasional maupun daerah yang dilakukan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan aman. Prinsip-prinsip ini penting dalam
prose pemilu sebagai indicator kualitas demokrasi.
Partai Politik
Sebagai
struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kedudukan
politik, partai politik adalah media penampung aspirasi rakyat. Peran tersebut
merupakan implementasi nilai-nilai
demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk mengontrol penyelenggaraan
negara melalui partai politik. Terdapat 3 sistem kepartaian di tiap negara:
sistem satu partai, dwipartai, dan multi-partai.
Islam dan Demokrasi
Bagi
kalangan elit Isla,, kesungguhan dan kesabaran dalam membangun demokrasi
Indonesia tercermin dalam sokongan mereka untuk menyerukan nilai-nilai Islam ,
seperti amanah dan shiddiq (terpercaya).
Bab
5
Konstitusi
dan Tata Perundang-undangan Indonesia
Konstitusi
berarti, sekumpulan kaidah/prinsip yang menyangkut penjelasan tentang batasan
kekuasaan kepada penguasa, pembagian tugas dan wewenang dari sistem politik
yang diterapkan, dan deskripsi mengenai masalah HAM.
Fungsi
dan tujuan Konstitusi adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang
pemerintah, menjamin hak-hak rakyat,dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang
berdaulat. Dijelaskan bahwa isi dalam paham konstitusi demokratis meliputi:
1.
Anatomi
kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
2.
Jaminan
perlindungan HAM
3.
Peradilan
yang bebas dan mandiri
4.
Pertanggungjawaban
pada rakyat (akuntabilitas public) sebagai asa kedaulatan rakyat.
Sebagai
negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 yang dirancang sejak 29 Mei-16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diketuai oleh Mr. Radjiman
Wedyodiningrat.
Dalam
perjalanan sejarah, konstitusi kita telah melewati 4 fase berupa pergantian
baik nama maupun substansi materi yang dikandung. Perjalanan sejarah konstitusi
Indonesia antara lain:
1.
Undang-Undang
Dasar 1945 - yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai 27 Desember
1949.
2.
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) – 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950.
3.
Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1959 – 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli
1959.
4.
Kembali
pada Undang-Undang Dasar 1945 – sejuak Dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga
sekarang.
Dalam perubahan
ke-4 UUD1945, diatur juga tentang perubahan undang-undang. Bersandar pada Pasal
37 UUD 1945 menyatakan bahwa:
1.
Usul
perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan
oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2.
Setiap
usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan
jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3.
Sidang
tersebut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4.
Putusan
untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya
50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
Reformasi
ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan sebagai hasil
dari proses amandemen UUD 1945 dapat dilihat pada tugas pokok dan fungsi
lembaga tersebut yang dikelompokkan dalam kelembagaan legislative, eksekutif,
dan yudikatif sebagaimana yang dijelaskan berikut.
1.
Lembaga
Legislatif
a.
MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat), merupakan lembaga legislative model dua kamar
(bicameral). Sebagaimana yang tertuang dalam sila ‘kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan’, MPR merupakan cermin prinsip
permusyawaratan.
b.
DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), merupakan lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
RI yang memegang kekuasaan berbentuk undang-undang. Fungsi DPR tdd; legislasi,
anggaran, dan pengawasan.
c.
DPD
(Dewan Perwakilan Daerah), lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang
merupakan wakil-wakil terpilih untuk daerah provinsi. Fungsi DPD adalah;
pengajuan usul, membahas dan mempertimbangkan yang terkait dengan bidang
legislasi tertentu, serta pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.
2.
Lembaga
Eksekutif. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, lembaga eksekutif
meliputi presiden dan para menteri yang membantu dan dipimpin secara langsung
oleh presiden. Kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai kekuasaan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kemauan negara dan pelaksanaan UU yang mencakup beberapa
bidang diantaranya; diplomatic, administrative, militer, yudikatif, dan
legislative.
3.
Lembaga
Yudikatif , yakni lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, yang
berarti kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
kenegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Terdapat 3 komponen dalam
lembaga yudikatif, yaitu: Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan
Komisi Yudisial (KY).
4.
Badan
pemeriksa Keuangan (BPK), merupakan lembaga yang bebas dan mandiri yang disebut
juga mitra kerja erat DPR dalam menjalankan fungsi parlementer berupa
pengawasan kinerja pemerintahan terkait soal keuangan dan kekayaan negara.
Berikut
tata urutan perundang-undangan Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU No.
10 Tahun 2004, Pasal 7 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP),
adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Dasar 1945
2.
Undang-undang/peraturan
pemerintah pengganti undang-undang
3.
Peraturan
pemerintah
4.
Peraturan
presiden
5.
Peraturan
daerah
Dengan
dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala peraturan yang
bertentangan dengan peraturan diatasnya batal demi hukum dan tidak bisa
dilaksanakan.
Bab
6
Negara,
Agama, dan Warga Negara
Pengertian
negara adalah bentuk organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat
yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat.
Tujuan sebuah negara, antara lain; memperluas kekuasaan,
menyelenggarakan ketertiban hukum, dan mencapai kesejahteraan umum. Dalam
konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana yang
tertuang dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945.
Terdapat
beberapa unsur pokok dalam berdirinya suatu negara yaitu;
1.
Rakyat,
adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan sama-sama
mendiami suatu wilayah tertentu.
2.
Wilayah,
adalah batas-batas teritorial yang harus dimiliki negara mencaku daratan,
perairan, dan udara.
3.
Pemerintah,
adalah kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negar untuk
mencapai tujuan negara tersebut.
4.
Pengakuan
negara lain, tdd:
a.
De
facto, yaitu pengakuan pada suatu negara berdasarkan fakta pada unsur penting
negara (rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat).
b.
De
jure, yaitu pengakuan berdasarkan pertimbangan yuridis.
Teori Tentang Terbentuknya Negara
1.
Teori
Kontrak Sosial (Social Contract), beranggapan bahwa negara dbentuk berdasarkan
perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat.
2.
Teori
Ketuhanan (Teokrasi), beranggapan bahwa kekuasaan/memerintah pada suatu negara merupakan
mandat dari Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan pula pada Tuhan.
3.
Teori
Kekuatan, beranggapan suatu negara dibentuk oleh kaum yang memiliki dominasi
paling kuat baik melalui penjajahan, penaklukan, atau pertarungan kekuatan.
Bentuk-Bentuk Negara
1.
Negara
Kesatuan (Unitarianisme), adalah bentuk negara yang merdeka dan berdaulat,
dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa. Negara kesatuan terbagi atas 2
sistem yaitu; sentral dan otonomi
2.
Negara
Serikat (federasi), adalah bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa
negara bagian. Dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, negara serikat
digolongkan atas 3 kelompok yaitu; monarki(dikepala raja/ratu), oligarki(dijalani
oleh beberapa penguasa), dan demokrasi(bersandar pada kedaulatan rakyat).
Warga Negara Indonesia (WNI)
Menurut
Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga
negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berikut UU yang menjelaskan hal-hal terkait kewarganegaraan
Indonesia.
1.
UUKI
2006 Pasal 4 => tentang siapa yang dapat dinyatakan sebagai WNI.
2.
UUKI
2006 Pasal 5 => tentang Status Anak Warga Negara Indonesia.
3.
UUKI
2006 Pasal 6 => penjelasan tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak
yang dimaksud pada pasal sebelumnya (UUKI 2006 Pasal 5).
Hubungan antara Negara, Warga Negara, dan Agama
Warga
negara dan negaranya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Sesuai
konstitusi, Negara Indonesia berkewajiban menjamin dan melindungi seluruh
warganya tanpa kecuali, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar,
penyediaan fasilitas umum yang layak, dsb. Namun kewajiban negara untuk
memenuhi hak-hak warganya tidak akan dapat berjalan lancar jika tanpa dukungan warga
negara dalam bentuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Misalnya;
membayar pajak.
Hubungan
Islam dengan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan dalam 3
pandangan:
1.
Paradigma
Integralistik, yaitu anggapan bahwa konsep agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang menyatu (integrated) dan tidak terpisahkan sehingga menegaskan
bahwa negara adalah lembaga politik sekaligus lembaga agama.
2.
Paradigma
Simbiotik, yaitu anggapan bahwa hubungan negara dan agama bersifat timbal
balik. Berarti agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan
dan mengembangkan agama – sebaliknya negara juga membutuhkan agama sebagai
sumber moral, etika, dan spiritualitas agamanya.
3.
Paradigma
Sekularistik, yaitu anggapan bahwa agama dan negara merupakan dua bentuk
berbeda yang keberadaannya harus dipisahkan. Negara merupakan urusan publik dan
agama merupakan wilayah pribadi setiap warga negara.
Hubungan
agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang
dinamis, jalan tengah antar sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis
maksudnya tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat
saling mengisi dengan segala perannya. Agama tetap memiliki daya kritis
terhadap negara dan negara punya kewajiban terhadap agama
(simbiotik-mutualita).
Bab
7
Hak
Asasi Manusia (HAM)
HAM
(Hak Asasi Manusia) menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perkembangan HAM di Indonesia
a.
Periode
Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan
ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi pergerakan nasional (misalnya
Boedi Oetomo-1908) dimana munculnya organisasi-organisasi tersebut
dilatarbelakangi oleh pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial,
penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat jajahan. Perdebatan HAM oleh para
tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, dkk berpuncak pada sidang BPUPKI
yang berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara
yang menjamin hak dan kewajiban negara dan warganya yang hendak diproklamirkan.
b.
Periode
Setelah Kemerdekaan
·
Periode
1945-1950, menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik, serta hak kebebasan untuk berpendapat di
parlemen.
·
Periode
1950-1959, merupakan masa gemilang prinsip demokrasi liberal sehingga memperkuat
suasana kebebasan dalam kehidupan politik nasional. Masa ini tercatat sebagai
masa yang sangat kondusif bagi perkembangan HAM di Indonesia. Masa ini dikenal
dengan ‘masa demokrasi parlemanter’. Menurut Bagir Manan, masa gemilang sejarah
HAM pada masa ini tercermin pada 5 indikator HAM diantaranya: munculnya
partai-partai politik dengan beragam ideologi; adanya kebebasan pers;
pelaksanan pemilu yang aman, bebas, dan demokratis; kontrol parlemen atas
eksekutif; dan pedebatan HAM secara bebas dan demokratis. Pada masa ini,
Indonesia turut pula meratifikasi 2 konvensi internasional HAM yaitu Konvensi
Genewa (1949) dan Konvensi tentang Hak Politik Perempuan.
c.
Periode
1959-1966
Masa Demokrasi
Liberal diganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan
Presiden Soekarno. Presiden tidak dapat dikontrol parlemen bahkan sebaliknya.
Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut dan seumur hidup. Akibatnya,
hak-hak asasi warga negara dipasung dengan berbagai kebijakan pemerintah yang
otoriter.
Namun menurut
Soekarno, demokrasi parlementer merupakan produk Barat yang tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisi sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
d.
Periode
1966-1998
Pada
mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di
Indonesia atas pemerintahan masa Soekarno sebelumnya. Namun pada kenyataannya,
setelah mendapat mandat dari MPRS, Orde Baru malah menorehkan sejarah hitam
pelanggaran HAM di Indonesia. Pelanggaran HAM Orde Baru terlihat dari kebijakan
politik yang bersifat sentralis dan anti segala gerakan politik yang berbeda
dengan pemerintah. Melalui pendekatan keamanan (security approach), pemerintah
Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang
dinilai berlawanan dengan berbagai tindakan kekerasan dan pembantaian oleh
aparat negara, yang tercatat sebagai kasus pelanggaran HAM.
Ditengah
kuatnya peran negara, muncul pula berbagai organisasi dan LSM yang berupaya
menegakkan HAM. Kuatnya tuntutan kelompok-kelompok tersebut mengubah sikap
pemerintah Orde Baru menjadi lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM, tampak
dari terbentuknya Komnas HAM dan diratifikasikanya 3 konvensi HAM. Sikap
akomodatif pemerintah tidak lantas serasi dengan pelaksanaan HAM oleh negara.
Akumulasi
pelanggaran HAM negara pada periode ini tecermin dengan tuntutan mundur
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan oleh kelompok reformis dan mahasiswa
pada 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan
reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual
Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.
e.
Periode
Pasca-Orde Baru
Lengsernya
tampuk kekuasaan Orde Baru tahun 1998, menandai berakhirnya rezim militer dan
otoriter yang telah berlangsung selama 30 tahun di Indonesia, berganti dengan
datangnya era baru demokrasi dan HAM. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang
kala itu sebagai wakil presiden RI. Seiring dengan berakhirnya masa Orde Baru,
kaum reformis turut mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang
bertentangan dengan HAM dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung
prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan, serta
melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung
pelaksanaan HAM di Indonesia.
Adapun
undang-undang yang mengatur mengenai Pelanggaran dan Peradilan HAM adalah; UU
No.26 Tahun 2000, mendefinisikan hal
Pelanggaran HAM yaitu perbuatan
seseorang/ kelompok termasuk aparat negara baik sengaja atau tidak, atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau
mencabut hak asasi manusia seseorang/ kelompok yang dijamin UU yang
dikhawatirkan tidak mendapat penyelesaian hukum yang adil dan benar.
Pelanggaran HAM dikelompokkan atas 2 bentuk yaitu; pelanggaran HAM berat, dan pelanggaran
HAM ringan.
Bab
8
Otonomi
Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sebagaimana
yang didefenisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), istilah otonomi
daerah atau desentralisasi, adalah segala yang berkaitan dengan wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibukota negara baik melalui cara dekonsentrasi,
seperti pendelegasian, kepada pejabat dibawahnya maupun melalui pendelegasian
kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.
Desentralisasi
otonomi daerah dapat berjalan jika didasari oleh serangkaian argumen yang kuat
secara teoritis maupun empiris yang diajukan oleh teoritisi pemerintahan dan
politik. Berikut argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi daerah.
1.
Untuk
terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
2.
Sebagai
sarana pendidikan politik.
3.
Pemerintahan
daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
4.
Stabilitas
politik.
5.
Kesetaraan
politik
6.
Akuntabilitas
publik
Visi otonomi
daerah dirumuskan dalam 3 ruang lingkup utama yaitu;
1.
Politik.
Otonomi daerah sebagai proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya pemerintah daerah yang terpilih secara demokratis,
pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyat, dan memelihara
mekanisme pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.
2.
Ekonomi.
Otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di
daerah , dan mendorong keterbukaan peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan lokal guna mengoptimalkan potensi ekonomi daerahnya.
3.
Sosial
dan budaya. Otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan
pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial -
serta pemeliharaan dan pengembangan nilai, tradisi, karya seni, dan
karya sastra lokal yang dipandang kondusif
dalam mendorong masyarakatnya untuk merespons positif dinamika kehidupan
global.
Adapun
misi/tujuan otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang kian membaik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan
antar-daerah.
Di Indonesia,
otonomi daerah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan Pemerintah Daerah.
Diperlukan
prinsip-prinsip yang harus ditaati pemerintah daerah otonom sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan otonominya yaitu dilaksanakan dengan memerhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi keberagaman daerah; didasari
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab; pelaksanaan otonomi daerah yang
luas dan utuh diberikan pada kabupaten/kota sedangkan otonomi terbatas pada
provinsi; pelaksanaan harus sesuai konstitusi negara; meningkatkan kemandirian
daerah otonom; harus meningkatkan peranan dan fungsi legislatif daerah;
pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada provinsi; serta pelaksanaan asas
tugas pembantuan yang diperbolehkan.
Otonomi
daerah yang diterapkan di indonesia bersifat luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat;
disebut nyata karena kewenangan menyangkut yang diperlukan, tumbuh, hidup, dan
berkembang didaerah tsb; dan disebut bertanggung jawab kerenakewenangan harus
diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah. Pembagian kekuasaan
dalam kerangka otonomi daerah
berdasarkan prinsip negara kesatuan sehingga pemerintah pusat tetap
memiliki kewenangan pengawasan terhadap daerah otonom. Selain sebagai daerah
otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif dimana kewenangan mencakup
soal desentralisasi dan dekonsentrasi, yaitu:
a.
Kewenangan
lintas kabupaten (bidang PU, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan)
b.
Kewenangan
pemerintahan lainnya (seperti perencanaan dan pengembangan pembangunan regional
makro, pengelolaan sarana/prasarana regional, dsb)
c.
Kewenangan
kelautan (eksplorasi, konservasi, dsb)
d.
Kewenangan
yang belum/tidak dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota
Terkait
dengan pembagian kewenangan anatara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
terdapat 11 jenis kewenangan yang harus diseahkan pada daerah otonom
kabupaten/kota yaitu; pertanahan, pertanian, pendidikan dan kebudayaan, tenaga
kerja, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, perdagangan
dan industri, penanaman modal, dan koperasi.
Menurut
UU No.22 Tahun 1999, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah
otonom yang dipilih oleh dan beranggung jawab kepada DPRD pada masa jabatannya
tetapi penetapan/pemberhentian kepala daerah secara administratif masih
diberikan kepada presiden. Setiap peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD pada
kepala daerah dapat pula langsung berlaku tanpa persetujuan dari pemerintah
pusat meski pemerintah pusat dapat menghentikan/menundanya jika tidak sesuai
dengan konstitusi, UU, dan kepentingan umum.
Otonomi
daerah dipandang sebagai langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar-daerah di Indonesia. Namun pembangunan daerah akan berjalan
jika sejumlah prasyarat dapat dipenuhi antara lain; fasilitasi, pemerintah
daerah harus kreatif, politik lokal yang stabil, pemerintah daerah harus
menjamin kesinambungan berusaha, dan pemerintah daerah harus komunikatif dengan
LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
Bab
9
Tata
Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih
(Good and Clean Governance)
(Good and Clean Governance)
Good
governance berarti pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam
mengelola masalah-masalah bangsa yang dilakukan dengan efektif dan efisien,
responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta
transparan.
Suatu
pemerintahan dapat dikatakan baik jika semua unsur dalam pemerintahan bergerak
sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan rakyat; pembangunan
dilakukan dengan biaya minimal namun hasilnya maksimal; produktifitas
bersinergi dengan peningkatan indikator tingkat ekonomi rakyat dalam aspek
produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya. Lembaga
Administrasi Negara (LAN) merumuskan 9 asas/prinsip yang perlu diperhatikan,
yaitu;
1.
Partisipasi, merupakan bentuk keikutsertaan
warga masyarakat dalam pengambilan keputusan baik langsung atau melalui lembaga
perwakilan yang sah.
2.
Penegakan hukum, yang berarti pemerintahan
profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa yang dapat
direalisasikan (oleh pemerintah) dengan berkomitmen untuk meletakkan
unsur-unsur berupa supremasi hukum, kepastian hukum, hukum yang responsif,
penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, serta independensi
peradilan, dalam praktek bernegara.
3.
Transparansi, sifat keterbukaan yang
memjauhkan dari praktek kecurangan dalam bernegara.
4.
Responsif, yang berarti keharusan
pemerintah untuk tanggap terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat tanpa
harus menunggu masyarakat untuk menyampaikannya.
5.
Orientasi kesepakatan (konsensus), apapun harus
dilakukan dengan proses musyawarah terlebih dahulu.
6.
Kesetaraan, kesamaan perlakuan dan pelayanan
publik.
7.
Efektifitas dan
efisiensi,
yakni berdayaguna dan berhasilguna.
8.
Akuntabilitas, yakni pertanggungjawaban pejabat
publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi
kepentingan mereka dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9.
Visi strategis, merupakan pandangan-pandangan
strategis dalam mengambil keputusan sekarang yang sudah diperhitungkan untuk
menghadapi masa yang akan datang.
Sejalan
dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan
dari implementasi good and clear governance. Keterlibatan masyarakat dalam
proses pengelolaan lembaga pemerintahan akan melahirkan kontrol masyarakat
terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerntahan yang berdampak pada tata
pemerintahan yang baik, efektif, dan bebas KKN. Program yang dapat dijadikan
prioritas dalam mewujudkan prinsip good an clear governance diantaranya:
1.
Penguatan
fungsi dan peran lembaga perwakilan
2.
Kemandirian
lembaga peradilan
3.
Profesionalitas
dan integritas aparatur pemerintah
4.
Penguatan
partisipasi Masyarakat Madani, dan
5.
Peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.
Korupsi sebagai Penghambat Good and Clean Governance
Korupsi
merupakan tindakan curang terhadap materil yang merugikan kepentingan
umum/masyarakat demi keuntungan pribadi/kelompok tertentu. Korupsi yang
dilakukan oleh politisi secara kolektif dalam pelaksanaan proyek pembangunan
misalnya, berakibat pada buruknya fasilitas umum seperti jembatan, sekolah, dsb
yang kurang layak/tidak sesuai dengan biaya yang sudah dikeluarkan/rusak
sebelum waktunya yang tentu saja merugikan negara dan masyarakat. Kejadian ini
erat kaitannya dengan praktik money politics dalam pemilihan kepala daerah dan
pimpinan parpol maupun suap-menyuap yag dilakukan oleh masyarakat terhadap
aparat hukum dan pemerintahan dalam hal pelayanan publik
Menurut
Jeremy Popy, korupsi terjadi jika ada peluang dan keingainan dalam waktu yang
bersamaan. Sehingga untuk memberantasnya, dibutuhkan strategi dengan melakukan
perubahan secara sistematis - untuk meminimalisir peluang, dan memberlakukan
siasat ‘laba rendah, resiko tinggi’ dengan cara menegakkan hukum dan menakuti
secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntibilitas - untuk meminimalisir
keinginan.
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Kinerja Birokrasi
Pelayanan Publik
Ada
beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan dan penerapan good and clean governance di Indonesia, yaitu;
1.
Keberhasilan
dalam pelayanan publik yang didominasi pemerintah akan mendorong tingginya
dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi
2.
Pelayanan
publik adalah wilayah dimana good and clean governance dapat diartikulasikan
dengan mudah
3.
Pelayanan
publik melibatkan kepentingan semua unsur governance (pemerintah, masyarakat,
dan mekanisme pasar).
Sehingga dengan
demikian, pelayanan publik menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain; manajemen organisasi, kualitas
sumber daya manusianya, dan kepemimpinan birokrasi yang efektif dan koordinasi
kerja pada birokrasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi
di masa depan antara lain; struktur birokrasi sebagai hubungan internal
(penjalan aktivitas birokrasi), kebijakan pengelolaan (visi, misi, tujuan,
sasaran, dan strategi), sumber daya manusia (kualitas kerja dan kapasitas diri
pekerja), sistem informasi manajemen (pengelolaan database), dan sarana dan
prasarana yang dimiliki (penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi).
Bab
10
Masyarakat
Madani
Masyarakat
madani (Civil Soecity) adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat berupa pemikiran, seni, dan pelaksanaan pemerintahan yang
berdasarkan UU. Ciri-ciri masyarakat madani adalah; kemajemukan budaya (multicultural),
hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai.
Sehingga Anwar menyimpulkan watak masyarakat madani yang dimaksud sebagai
guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaannya yaitu
prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan demokrasi.
Karakteristik Civil Soecity
Dibutuhkan
unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya masyarakat madani.
Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi
karakter khas masyarakat madani. Unsur pokok tersebut yaitu:
1.
Wilayah
publik yang bebas (free public sphere), yaitu ruang publik yang bebas sebagai
sarana untuk mengemukakan pendapat/ pandangan sosial-politik warga masyarakat
tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil soecity.
2.
Demokrasi,
yaitu tatanan sosial-politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk
warga negara – merupakan prasyarat mutlak bagi keberadaan genuine civil
soecity.
3.
Toleransi,
sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
4.
Kemajemukan
(pluralisme), merupakan sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang
beragam dan disertai sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai
sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan.
5.
Keadilan
sosial, adalh keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban
setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan, berupa ekonomi,
politik, pengetahuan, dan kesempatan.
Terdapat
beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya
membangun Masyarakat Madani di Indonesia, yaitu dengan:
1.
Pandangan
integrasi sosial dan politik, yaitu pandangan bahwa sistem demokrasi tidak
mungkin berlangsung dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam masyarakat yang
belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.
Pandangan
reformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk
membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi.
3.
Paradigma
membangun Masyarakat Madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi.
Bersandar pada
3 paradigma di atas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya
tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut. Sebaliknya, untuk
mewujudkan Masyarakat Madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan
strategi dan paradigma yang setidaknya dapat dijadikan acuan dalam
mengembangkan demokrasi dimasa transisi sekarang, yakni:
1.
Memperluas
golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah melalui
pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok Masyarakat
Madani yang mandiri secara politik dan ekonomi.
2.
Mereformasi
sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang
ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3.
Penyelenggaraan
pendidikan politik (pendidikan politik) bagi warga negara secara keseluruhan.
Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani
Iwan Garsono
mendefenisikan gerakan sosial sebgai aksi organisasi/kelompok masyarakat sipil
dalam mendukung/menentang perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari
oleh pembagian 3 ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (corporation/market),
dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik
yang berada di ranah negara dan gerakan ekonomi di ranah ekonomi. Pembagian ini
telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yg melihat political parties berkaitan
dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan
politik oleh partai politik melalui pemilu. Sementara itu, gerakan ekonomi
berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan
publik tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. Selain itu, perbedaan
ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Habermas yang melihat gerakan sosial
merupakan resistensi progresif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi. Jadi,
salah satu gerakan yang membedakan ketiga gerakan tersebut ialah aktornya,
yakni parpol di ranah politik, lobbyist dan perusahaan di ranah ekonomi
(pasar), dan organisasi masyarakat sipil atau kelompok sosial di ranah
masyarakat sipil.
Organisasi Non-Pemerintah dalam Ranah Masyarakat
Organisasi
non-pemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Government Organization) mendefenisikan
organisasi nonpemerintah sebagai organisasi/kelompok dalam masyarakat yang
secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-government) dan
bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit), tidak untuk melayani diri
sendiri atau anggota-anggota (self-serving) tetapi untuk melayani kepentingan
masyarakat yg membutuhkannya. Sosok organisasi non pemerintah dalam pengertian
ril sebagai gerakan terorganisasi dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang
berbadan hukum perkumpulan atau perhimpunan atau yayasan, ada juga yg tidak
berbadan hukum. Bahkan ada yg bersifat sementara seperti “forum”, ”koalisi”, ”aliansi”,
”konsorsium”, ”asosiasi”, ”jaringan”, ”solidaritas”, dsb.